Arsip Artikel
Antara Cerai dan Tetap Bertahan Demi Keluarga
Realitas, Emosi, dan Masa Depan
(Kajian Psikologis dalam Perspektif Agama)
oleh : Barkah Ramdhani
Keputusan antara bercerai atau tetap mempertahankan rumah tangga merupakan salah satu dilema paling kompleks dalam kehidupan keluarga. Setiap pasangan menghadapi dinamika emosional, sosial, spiritual, dan moral yang berbeda. Dalam konteks psikologi modern dan ajaran agama, persoalan ini tidak dapat dijawab secara sederhana. Keduanya menawarkan kerangka berpikir yang membantu pasangan menimbang keputusan secara lebih bijaksana.
Psikologi memandang pernikahan sebagai ruang perkembangan emosi, pertumbuhan pribadi, dan kebutuhan akan rasa aman. Ketika hubungan berjalan sehat, ikatan emosional dapat menjadi sumber kekuatan. Namun ketika konflik kronis, kekerasan, atau ketidakbahagiaan mendominasi, hubungan justru dapat melukai kesejahteraan psikologis.
Dari perspektif agama, pernikahan dipandang sebagai ikatan suci (mitsaqan ghalizha). Hubungan suami-istri dituntut untuk dibangun atas dasar kasih sayang, tanggung jawab, dan saling menghormati. Namun, agama juga memberikan ruang bagi perceraian sebagai jalan terakhir ketika kehidupan rumah tangga tidak lagi membawa kebaikan dan justru menimbulkan mudarat yang lebih besar.
Dalam psikologi, kondisi mental pasangan sering menjadi indikator penting sebelum memutuskan bertahan atau berpisah. Hubungan yang penuh pertengkaran dapat menimbulkan stres, kecemasan, trauma emosional, dan menurunnya kesehatan jiwa. Bagi anak, suasana rumah yang tegang justru dapat menghambat perkembangan emosional mereka. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang stabil, meski dengan orang tua yang berpisah secara baik-baik, dapat menghasilkan kondisi tumbuh kembang yang lebih sehat.
Agama memberikan pedoman moral dan spiritual dalam menghadapi konflik rumah tangga. Nilai kesabaran, musyawarah, serta penyelesaian konflik secara hikmah menjadi landasan utama. Namun, agama juga mengakui bahwa perkawinan tidak boleh berubah menjadi tempat penindasan atau kekerasan. Ketika rumah tangga menimbulkan bahaya fisik maupun psikologis, perceraian menjadi pilihan yang tidak dilarang.
Baik psikologi maupun agama menekankan pentingnya upaya perbaikan sebelum memilih jalan berpisah. Konseling keluarga, mediasi, dan komunikasi terbuka adalah langkah-langkah yang sangat dianjurkan. Namun, jika semua usaha telah ditempuh tanpa hasil dan hubungan tetap dipenuhi ketegangan, maka mempertahankan pernikahan justru dapat membawa kerusakan yang lebih besar.
Pada akhirnya, keputusan antara bertahan atau bercerai harus didasarkan pada pertimbangan yang matang, bukan tekanan sosial atau rasa takut. Psikologi membantu memahami dampak emosional dari setiap pilihan, sementara agama memberikan panduan etis dan spiritual untuk menjaga martabat setiap pihak. Keduanya sepakat bahwa tujuan utama bukan sekadar mempertahankan ikatan, melainkan mewujudkan keluarga yang penuh kebaikan, keselamatan, dan ketentraman jiwa.
Adapun pemikiran-pemikiran yang merupakan sebagai dasar pertimbangan dalam mempertahankan rumah tangga
1. Bertahan Demi Anak : Keputusan Mulia atau Beban Berbahaya?
Salah satu alasan paling sering muncul ketika pasangan memilih bertahan adalah demi anak. Anak memang membutuhkan stabilitas, kasih sayang, dan kehadiran kedua orang tua. Namun, penting dipahami bahwa :
- Anak membutuhkan rumah yang sehat, bukan sekadar rumah yang tetap utuh.
- Konflik berkepanjangan, pertengkaran, atau pola relasi tidak sehat dapat memberikan dampak psikologis lebih berat daripada perceraian itu sendiri.
- Anak lebih mudah beradaptasi dengan perubahan daripada hidup dalam situasi penuh tekanan.
Bertahan demi anak adalah pilihan yang bisa dihormati, tetapi hanya tepat jika hubungan masih bisa dipulihkan, bukan jika keduanya terus saling menyakiti.
2. Mempertimbangkan Dampak Emosional : Luka atau Kesempatan Baru?
Keputusan bertahan atau bercerai harus mempertimbangkan kesehatan emosional kedua pihak. Pertanyaan-pertanyaan berikut bisa menjadi refleksi:
- Apakah saya masih merasa aman secara emosional?
- Apakah hubungan ini memberikan ruang bagi perkembangan diri?
- Apakah konflik dapat diatasi melalui komunikasi atau konseling?
- Apakah perceraian akan memberi kesempatan bagi hidup yang lebih sehat?
Kadang, bertahan membuat seseorang mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Namun sebaliknya, perceraian pun tidak serta-merta menjamin kebahagiaan apabila tidak dipertimbangkan dengan matang.
3. Faktor Agama dan Budaya : Tekanan Sosial yang Tidak Bisa Diabaikan
Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, perceraian sering dianggap tabu. Ada tekanan moral, keluarga besar, bahkan lingkungan sosial yang mengharapkan seseorang tetap mempertahankan pernikahan apa pun kondisinya.
Namun, penting diingat :
- Agama pun tidak pernah membenarkan hubungan yang mengandung kekerasan atau penelantaran.
- Keluarga besar bukan pihak yang menjalani hubungan—Anda dan pasanganlah yang merasakan dampaknya.
- Persepsi sosial dapat berubah, tetapi luka batin akibat memaksakan diri bisa menetap.
Bertahan demi menjaga nama baik keluarga kadang justru menjadi sumber penderitaan panjang.
4. Menimbang Faktor Ekonomi: Realistis, Bukan Materialistis
Ekonomi sering menjadi alasan kuat seseorang bertahan. Perceraian dapat berdampak pada :
- pembagian harta atau nafkah,
- kestabilan ekonomi anak,
- tekanan finansial baru.
Namun, hubungan yang toksik atau penuh kekerasan pun dapat merusak produktivitas dan kesehatan mental, yang akhirnya merugikan ekonomi jangka panjang. Pertimbangan ekonomi memang penting, tetapi jangan sampai menjadi jerat yang membuat seseorang kehilangan martabat atau kesehatannya.
5. Saat Bertahan Menjadi Lebih Masuk Akal
Mempertahankan pernikahan dapat menjadi pilihan terbaik apabila :
- masih ada rasa saling menghargai,
- konflik dapat diatasi melalui dialog dan terapi,
- masalah berasal dari kesalahpahaman, bukan kekerasan,
- kedua pihak bersedia berubah dan memperbaiki diri.
Bertahan bukan bentuk kelemahan, melainkan komitmen untuk memperjuangkan sesuatu yang masih bernilai.
6. Saat Perceraian Menjadi Jalan yang Lebih Sehat
Perceraian dapat menjadi pilihan paling bijaksana apabila:
- terjadi kekerasan fisik, verbal, atau emosional,
- pasangan tidak mau berubah atau memperbaiki diri,
- hubungan menjadi sumber trauma terus-menerus,
- situasi rumah tangga tidak lagi aman bagi anak.
Perceraian bukan kegagalan, tetapi bisa menjadi langkah untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari luka berkepanjangan.
7. Kesimpulan : Setiap Keputusan Memerlukan Kejujuran dan Keberanian
Tidak ada jawaban pasti untuk menentukan kapan harus bertahan atau berpisah. Setiap pasangan memiliki dinamika, nilai, dan batasnya masing-masing.
Yang paling penting adalah :
- jujur pada diri sendiri,
- mempertimbangkan masa depan dengan kepala jernih,
- mengutamakan keamanan dan kesehatan mental,
- menyadari bahwa baik bertahan maupun berpisah adalah pilihan yang sah—asal diambil dengan kesadaran penuh, bukan tekanan.
Pada akhirnya, kebahagiaan dan ketenangan hati adalah fondasi utama yang membuat keluarga, termasuk anak-anak, dapat tumbuh dalam cinta dan kesejahteraan.
bramdhanish.doc




